Tampilkan postingan dengan label Wacana Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wacana Sastra. Tampilkan semua postingan

Masal Masal İçinde: Turki, Negeri Dongeng

18.49.00 1 Comment

"Dongeng sebagai makna lugas dan leksikal, cerita yang diwariskan kepada anak cucu. Bahkan di Turki, kepada para pelajar. Sesederhana membaca dongeng, fiksi yang laris dan menjadi kegemaran di Turki ternyata bisa berguna sebagai media ‘aktualisasi diri’."

(Buku: Masal Masal İçinde, Karya Ahmet Ümit. Foto: Goodreads)

Banyak orang mencoba membayangkan bagaimana sebenarnya wujud dari negara Turki, hingga mereka masuk pada kesimpulan tentang negara yang mirip seperti negeri dongeng. Hal ini disebabkan karena panorama alam yang sangat indah beserta jejak sejarahnya yang sangat mashur dan menjadi daya pikat yang luar biasa bagi para pelancong dan pelajar. Bahkan dewasa ini, Turki masih menjadi pilihan untuk destinasi utama wisata sejarah, arkeologi ataupun tentang riset ilmu pengetahuaan pada bidang sosial politik, kebudayaan, agama, budaya dan sastra.

Turki, selain perwujudan perkembangan dalam negeri yang cukup cepat, di dalamnya justru tersimpan hal-hal yang esensial. Ada dongeng yang lebih bermakna bagi banyak pemudanya. Dongeng sebagai makna lugas dan leksikal, cerita yang diwariskan kepada anak cucu. Bahkan di Turki kepada para pelajar. Sesederhana membaca dongeng, fiksi yang laris dan menjadi kegemaran di Turki ternyata bisa berguna sebagai media ‘aktualisasi diri’. Banyak yang tidak tahu dan tidak ingin tahu tentang hal-hal sederhana seperti ini. Padahal, justru dari sinilah individu hingga sebuah bangsa bisa belajar tentang negaranya. 

Sebuah buku dongeng Turki favorit yang terbit pada tahun 1995 berjudul “Masal Masal İçinde” pun memiliki pesan eksplisit yang demikian. Dongeng ini memiliki pesan yang mendalam agar kita keluar dan berkelana, mencari ilmu pengetahuan dengan melihat keadaan yang sebenarnya di berbagai tempat. Bertemu orang sampai tantangan yang berbeda-beda. Apapun gelar dalam diri kita, idealnya tidak harus membatasi proses untuk belajar. Justru yang lebih penting adalah terus mengasah simpati dan kepekaan, berpikir-bertindak sederhana namun tegas dan cerdas, serta meluruskan rasa percaya diri dan keingintahuan.

“Masal-masal İçinde” sendiri merupakan sebuah buku dongeng yang ditulis oleh penulis novel tersohor Turki, Ahmet Ümit. Ia merupakan novelis akhir abad 20 yang masih aktif dengan karya-karya yang terus saja dinanti. Pria kelahiran Gaziantep ini sudah menerbitkan banyak karya. Beberapa karya sastra Ahmet Ümit yang terkenal di antaranya adalah Sokağın Zulası (The Street's Secret Hiding Place, 1998), Sis ve Gece (Fog and Night, 1996), Kar Kokusu (The Fragrance of Snow, 1998), Beyoğlu Rapsodi (Beyoğlu Rhapsody, 2003), Kavim (Tribe, 2006). Secara umum, karya-karyanya bercerita tentang kehidupan sosial dan perenungan yang terjadi dalam masyarakat Turki.

“Masal” sendiri merupakan bahasa Turki yangg bermakna “dongeng”, sementara “içinde” berarti “di dalam”. Secara harfiah, Masal Masal İçinde bermakna ‘Di dalam dongeng-dongeng’. Cerita dalam dongeng ini menyimpan pesan yang besar, berjangka panjang, namun terkadang sering terlupakan. Buku ini adalah satu dari beberapa buku sastra wajib untuk pelajar SMA di Turki. Namun demikian buku ini tetap dapat dinikmati berbagai kalangan dan masyarakat umum. Untuk memotivasi para pelajar untuk menekuni bidang literasi, ada satu pesan yang selalu disampaikan oleh pengajar, "karena sastra tidak mengenal usia,” demikian kata seorang dosen bahasa Turki yang seperti umumnya mewajibkan mahasiswa berbagai jurusannya untuk membaca buku-buku sastra, termasuk dongeng.


“Masal Masal İçinde” pun dapat menjadi referensi untuk siapa saja yang ingin mengasah kemampuan bahasa Turki. Seperti karya-karya sastra lain di Turki, buku ini dapat menambah pengetahuan kosa kata dan skill sastra, karena gaya bahasa serta penggunaan Osmanlıca atau bahasa Turki lama masa Ottoman dalam beberapa bagiannya. 


Sonia Dwita
Bergabung dengan tim Turkish Spirit. Calon mahasiswi S1 Journalism Studies, Selçuk University, Konya, Turki. Saat ini sibuk menikmati kelas persiapan bahasa Turki. Pernah aktif menjadi jurnalis remaja di Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Concern dan turun tangan pada isu pendidikan dan lingkungan. Jatuh hati pada dunia seni khususnya musik, sejak belasan tahun silam. Sonia hobi menulis catatan harian juga puisi, kadang dibagi di blog pribadinya di sini.

Museum of Innocence, Ekspedisi Kepolosan!

01.26.00 Add Comment

"Hal unik lain dari proyek Museum Kepolosan ini adalah upaya menghidupkan fiksi secara masif, di Istanbul sebagai lokusnya" 

[Buku Kepolosan Kenangan Edisi Bahasa Turki. Foto +Bernando J. Sujibto]
Jumat 25 Maret 2016, bersamaan dengan penayangan serentak film Hatıraların Masumiyeti (Kepolosan Kenangan) di kota-kota besar Turki, buku dengan judul yang sama berisikan skenario, esai-esai pendek hal-ihwal Museum Kepolosan (The Museum of Innocence/Masumiyet Müzesi) dan obrolan Orhan Pamuk dengan sutradara Grant Gee hadir juga ke hadapan pembaca. Skenario yang ditulis sendiri oleh tangan dingin Pamuk ini menghadirkan kejutan dan kebaruan dengan perspektif yang unik.

Museum Kepolosan yang awalnya adalah karya novel (terbit 2008), lalu ditransformasikan ke dalam bentuk museum (dibuka 2012) dan kali ini diadaptasi ke film adalah pencapaian kreativitas yang luar biasa. Betul, sudah banyak karya novel hebat dunia difilmkan, tapi Museum Kepolosan mempunyai “arena operasinal” sendiri yang dieskplorasi secara distingtif, khususnya dalam aspek kreativitas seni dan sastra. Kehadiran buku dan film ini semakin menyempurnakan semesta Museum Kepolosan itu sendiri dengan sentuhan-sentuhan segar, sebagai produk imajiner dalam bentuk roman yang kemudian terdedah ke dalam konstruksi fiksi-yang-terlihat (baca: museum).

“Arena operasinal” Pamuk yang saya maksud adalah proses menghidupkan kota Istanbul. Pamuk tengah "berproyeksi" menasbihkan Istanbuller (Istanbullu) dalam dirinya, seperti Dubliner bagi James Joyce. Meski bukan Pamuk seorang yang menulis Istanbul, tak bisa dipungkiri bahwa hari ini Pamuk adalah si Istanbullu itu sendiri, seorang yang meniupkan nafas kepada kotanya. Atau sebaliknya, sebuah kota yang setia melumuri intuisi dan imajinasi kepada dirinya (hal 79).

Jika boleh bertaruh ihwal karya novel yang akan dikenang di masa depan—atau bahkan sepanjang sejarah—saya tak ragu untuk menyebutkan Museum Kepolosan. Alasannya karena novel ini sudah bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk karya seni yang lain. Misalnya, Januari kemarin sebagian koleksi museum dibawa ke Somerset House London untuk dipamerkan. Sebelumnya buku Şeylerin Masumiyeti (Kepolosan Objek-Objek, 2012) terbit sebagai bentuk katalog. Lagi-lagi, buku katalog ini disentuh dengan teks-teks magis Pamuk sendiri yang semakin melengkapi bangunan fiksi novel Museum Kepolosan

Alasan mendasar dan paling prinsipil (di balik "keabadian" sebuah karya sastra) adalah karena novel ini telah menjadi ruh bagi sebuah kota, yaitu Istanbul dalam perspektif dan paradigma yang dibangun Pamuk sendiri sebagai personal. Alasan terakhir ini cukup menonjol bagi proses penyatuan karya dengan latar sosial dan sejarahnya. 

Secara general, proyek Museum Kepolosan adalah sebentuk upaya menghidupkan fiksi secara masif, di Istanbul sebagai lokusnya. Kemudian aspek lain yang menarik dan sulit ditolak di balik kerja kreatif ini adalah bahwa fiksi-yang-terlihat (yaitu koleksi-koleksi museum yang dikumpulkan berdasarkan narasi dalam novel) itu hadir dengan sebuah tesis: dunia fiksi dan non-fiksi sebenarnya adalah mitos yang dikonstruksi untuk ada, keduanya sama-sama memperkuat. Atau, dalam beberapa aspek, mungkin saja saling menegasikan!

Sebagai karya yang bersumbu dari satu pusat yaitu novel, ketiganya sangat identik. Membicarakan satu artinya harus siap bergulat dengan keempat karya seni (novel, museum, buku katalog dan film) tersebut. Namun, buku skenario film ini mempunyai cara pandang berbeda dalam mendekati semesta Museum Kepolosan. Pamuk menambahkan tokoh-tokoh yang sebelumnya tidak muncul dominan dalam novel--tetapi dalam buku ini, dalam film ini, diberikan ruang untuk hadir--sebagai karakter yang mewarnai dan melengkapi cerita, misalnya Ayla, Ara Güler, Tukang Kertas, Türkan Şoray, Kenan Evren, dsb. Pamuk juga menghidupkan karakter-karakter dialog yang—bagi saya—‘asal ingat’ atau memang sebentuk twist untuk mengganggu ingatan pembaca kepada beberapa dialog dalam novel (hal 45). Nilai plus dari buku skenario ini adalah esai-esai pendek tentang semesta Museum Kepolosan sehingga makin utuh dan mendalam.
[Versi Cetak Dimuat di +Jawa Pos. Foto +Ahmad Muhli Junaidi]
Di samping Kemal, Ayla adalah tokoh utama dalam film ini. Ayla diplot menjadi teman dekat Füsun yang pernah tinggal satu apartemen (daire). Daire mereka sederhana, ditempati oleh keluarga dari kalangan menengah ke bawah. Bersama ibunya yang seorang janda, Ayla menyewa rumah di lantai bawah apartemen yang ditempati Füsun dan keluarganya, apartemen kecil yang kini disulap menjadi museum. Sebagai teman dekat satu apartemen, Ayla sangat paham Füsun, karena dari tahun 1970-1980 Füsun dan Ayla kerap main bersama (hal 15). Artinya, waktu narasi dalam novel yang berlatar tahun 1974 terjadi, Füsun dan Ayla tengah asyik bermain sebagai seorang gadis yang baru lulus dari SMA. Bahkan dalam dialog perdana, Ayla menuturkan bahwa baju yang dipakai Füsun dan kini menjadi koleksi museum dibeli di toko murah oleh mereka berdua (hal 13).

Pamuk menghadirkan Ayla untuk menggantikan Füsun bukan tanpa alasan. Dan bagi saya, itu justru pilihan luar biasa yang mengejutkan karena tidak semua orang berpikir ke sana, ketika tokoh utama dihilangkan dan diganti oleh temannya yang dalam novel perannya sama sekali tidak dominan (nama Ayla dalam novel hanya disebutkan sebanyak lima kali, di halaman 302, 373, 538 dan 539). Tanpa diragukan, cara demikian adalah sentuhan jenius Pamuk agar Füsun yang lugu dan lemah (dalam novel menjadi objek dan represi kegilaan cinta Kemal dari kelas borjuis) terbatas menceritakan dirinya. Pembaca tentu paham bahwa novel ini adalah cerita cinta tunggal tentang Kemal dan kegilaan-kegilaanya, Füsun hadir dalam definisi dan perspektif Kemal. Untuk itu, Pamuk tak tega membiarkan Füsun menjadi objek derita yang pelik untuk kedua kalinya. Karena yang diinginkan Pamuk dengan novel ini sebenarnya bukan aspek eksploitasi (kelas, seks dan kapital), tetapi demi menghadirkan lini sejarah kelam yang pernah menghiasi Istanbul dan Turki.

Kejutan lain adalah ketika Ayla dengan gamblang bertutur bahwa dirinya tahu ketika Pamuk akan menulis kisah cinta antara Kemal dan Füsun. Karena ketika tengah menulis novel, Pamuk pernah bercerita kepada Ayla (hal 15).

Kehadiran tokoh dan karakter yang dalam novel hanya disebutkan nama (untuk menghadirkan realisme sejarah Turki) atau bahkan yang tak pernah ada merupakan catatan kaki untuk melengkapi lanskap cerita dan panorama Istanbul secara lebih luas. Hadirnya Kenan Evren misalnya, komandan kudeta militer paling beringas tahun 1980, melengkapi intrik dan intimidasi politik yang menanamkan kecemasan dalam memori bangsa Turki (hal 46-47). Dipungkasi oleh karakter Ara Güler, fotografer nomor satu Turki yang dijuluki the eye of Istanbul itu.
[Masumiyet Müzesi Trailer. Foto +YouTube]
Karakter aktris tersohor tahun 1970-an Türkan Şoray (hal 42-43) semakin memperkuat karakter Füsun dalam novel. Füsun bermimpi menjadi aktris dan pernah mengikuti kontes model kecantikan tapi gagal. Pamuk cukup lengkap mengeksplorasi dunia perfilman Turki era 70-80-an untuk menghidupkan karakter Füsun yang ingin berkecimpung dalam dunia film. Bahkan Füsun pernah dilirik seorang sutradara untuk mengambil peran dalam sebuah film (novel Museum Kepolosan bab 52-62).

Di samping itu, karakter Sopir Taksi, Tukang Kertas dan Reporter semakin melengkapi semesta Museum Kepolosan. Tentu, sebagai film yang digarap secara unik (semacam donumenter atas karya fiksi) Pamuk menjadi komando dalam menarasikan film, narator untuk menjelaskan Museum Kepolosan. Padahal dalam novel sendiri, Pamuk berposisi sama –sering mencampuri karakter Kemal yang dia ciptakan sendiri. Seperti terjadi dalam karya yang lain, Pamuk lihai memainkan peran alter ego yang bahkan mengaburkan cerita antara dirinya dengan tokoh-tokohnya.

Terakhir, sebagai ending tercanggih adalah ketika antara Pamuk dan Kemal kembali terjadi dialog: “Dalam novel kalimat terakhirku jangan lupa, Tuan Orhan,” pesan Kemal. “Unutmam (aku tidak lupa),” jawab Pamuk (hal 55). Dialog ini mengingatkan saya pada bagian akhir novel (bab 83 halaman 531-2) ketika Kemal menyerahkan tugas narator kepada Orhan Pamuk, dan novel setebal 561 halaman tersebut pada akhirnya berubah menjadi ‘suara’ Pamuk seutuhnya (!).


Bernando J. Sujibto
Penulis dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Sedang merampungkan riset tesis tentang karya Orhan Pamuk. Follow Twitter @_bje.

Perkara Prosa di Turki

17.46.00 Add Comment

"Proyek modernisasi Turki di bawah Mustafa Kemal salah satunya mereproduksi kosakata asli bahasa Turki kuno (öztürkçe) atau Prancis untuk menggantikan kosa kata Arab dan Persia yang paling dominan. Dalam praktiknya, öykü lebih banyak digunakan tinimbang hikaye."

[Contoh Öykü dalam Malajah Online http://hayatedebiyat.com/]
Menjelang masa-masa akhir di Turki, saya tengah “bersitegang” dengan pemahaman (dan pengetahuan) diri saya sendiri. Pemicunya adalah perkara prosa di Turki, khususnya cerita pendek. Setelah cukup intens berkenalan dengan sastra Turki lewat Orhan Pamuk melalui genre novel, mau tidak mau saya harus berkencan lebih dekat dengan sejarah sastra mereka sendiri. Dan bertemulah dengan mahkluk bernama öykü!

Namun sebelum berbincang ihwal öykü, penting sedikit memotret aspek historis sastra Turki modern. Secara historis, ada periode urgen dalam sejarah sastra Turki, yaitu transisi dari masa Ottoman ke era Republik. Sejarah revolusi (inkilap tarihi) tersebut tak hanya fokus pada transisi politik dan pemerintahan, tetapi aspek kebudayaan termasuk bidang seni dan sastra digunakan sebagai media untuk mendukung visi demi melengkapi perkakas ideologisasi mereka, menjadi Turki modern. Karena, dalam praktiknya, tetek bengek ideogolis (yang awalnya adalah proyeksi politik) akan tercelup basah pada tubuh kebudayaan—resepsi dan memori masyarakat itu sendiri.

Nah, ada lubang serius yang harus ditanggung oleh proyek yang tak selesai ini. Efek paling kentara yang mudah dijumpai hari ini adalah perkara prosa, khususnya terkait dengan cerita pendek di Turki. Kita yang datang dari tradisi sastra (dipengaruhi) Barat akan terkejut ketika berhadapan dengan cerita pendek Turki hari ini. Aturan dan pakem yang dipakai oleh penulis cerita pendek dunia nyaris tak dihiraukan, seperti jumlah halaman dan unsur intrinsik (khususnya alur, latar, dan penokohan).

Memang, belum ada definisi final untuk jenis prosa fiksi bernama cerita pendek ini. Tetapi, meminjam istilah Edgar Allan Poe, “harus selesai dibaca sekali duduk”, secara tersirat ingin menghadirkan konsensus ihwal jumlah tulisan dan kebutuhan terhadap durasi, tentu dengan mengakomodasi sejumlah karakteristik cerita pendek seperti eksposisi plot, setting, karakter, konflik, dan sekaligus jumlah halaman.

Dalam literatur sastra Turki modern, ada dua istilah untuk prosa fiksi: roman (novel) atau öykü. Buku berjenis roman adalah cerita panjang yang kita kenal sebagai novel. Tetapi, dalam öykü kita akan dihadapkan kepada suatu problem. Karena dalam praktiknya, öykü ternyata dipakai secara bebas oleh para penulis prosa untuk menamakan jenis tulisan cerita (selain novel). Di luar itu, ada satu lagi--meski tak banyak disebut dalam konteks susastra--yaitu masal, jenis cerita fantasi dan cerita rakyat (Anatolia) yang biasanya khusus untuk anak-anak. Artinya, bentuk-bentuk cerita (apa pun) selain roman kemudian dengan mudah dikelompokkan ke dalam öykü atau hikaye! Baik cerita yang hanya terdiri dari dua kalimat (yang saya pikir awalnya adalah puisi), flash fiction, atau short story, digolongkan dalam satu istilah: öykü. Simak misalnya öykü yang terdiri dari dua kata karya Hasan Harmancı berjudul Dervis ile Ermis (Menjadi Sufi bersama Darwish) di bawah ini:

Dervis ile Ermis
-Masallah
-Estagfirullah

Di Turki, Anda cukup bilang öykü untuk mencari jenis karya sastra berupa cerita pendek. Kata öykü asli dari bahasa Turki yang berarti cerita, hikaye (Arab) atau dastan (Persia). Sampai sekarang ketiga istilah tersebut masih dipakai dalam bahasa Turki meski kata dastan (Turki: destan) mempunyai konotasi berbeda, yaitu dipakai untuk menyebutkan novel dan kisah-kisah epik, misalnya karya Orhan Pamuk terbaru Kafamda bir Tuhaflık (2014).

Meskipun istilah hikaye dan öykü sama-sama dipakai, öykü lebih akrab dengan para penulis cerita pendek dan pembaca sastra Turki. Menurut Kahraman (2015), istilah öykü diproduksi dari bahasa Turki sejak tahun 1930, kemudian dipakai dalam penulisan cerita pendek. Seperti diketahui, proyek modernisasi Turki di bawah Mustafa Kemal salah satunya mereproduksi kosakata asli bahasa Turki kuno (öztürkçe) atau Prancis untuk menggantikan kosa kata Arab dan Persia yang paling dominan. Dalam praktiknya, öykü lebih banyak digunakan tinimbang hikaye.

Penulis-penulis cerita pendek (öykücü) era akhir Ottoman dan awal Republik Turki yang berkiblat ke Eropa dan Amerika adalah Ahmet Mithat (1844-1912), Huseyin Gurpinar (1864-1944), Halit Ziya (1866-1945), Yakup Kadri (1889-1974), dan Refik Halit (1888-1965). Bagi mereka, era tanzimat, sebuah gerakan reformasi untuk memodernisasi sistem internal pemerintahan Ottoman tahun 1839-1876, diyakini menjadi fondasi yang memengaruhi mereka dalam berkarya.
[Öykü dalam Majalah Sastra Mahalle Mektebi, Edisi No. 26, November-Desember 2015]
Yang menarik, modernisasi terhadap sastra Turki klasik—perpaduan dua khazanah peradaban besar Arab dan Persia—bertahan hingga dekade 1970-an ketika Ferit Edgü menulis cerita fenomenal berjudul Dendam yang hanya berisi empat kalimat. Setelah itu, kebebasan bercerita dengan öykü akhirnya kembali menyeruak lepas. Untuk mewadahi ledakan ini, kritikus sastra Turki seperti Ramazan Korkmaz (2007) bekerja mengelompokkan ke dalam istilah kücürek öykü, öykücük, kıpkısa öykü, dan semacamnya yang artinya: cerita mini. Tetapi istilah-istilah itu tidak laku. Penulis ataupun pembaca sastra cukup menyebut öykü untuk menamai jenis cerita yang beragam tersebut. Misalnya lihat cerpen-cerpen yang diterbitkan oleh majalah sastra Varlık, salah satu majalah sastra Turki paling tua (terbit 1933), ataupun Hece Öykü dan Sözcükler. Mereka ikut memberikan ruang kepada cerita-cerita super-pendek yang hanya berisi satu halaman.

Melalui öykü, penulis-penulis prosa Turki kembali menemukan kebebasan untuk mengekspresikan khazanah sastra klasik mereka, misalnya bentuk-bentuk humor dan satire yang ditulis oleh Nasruddin Hoja. Gaya-gaya bercerita yang ratusan tahun sudah menyatu dengan kultur Turki seperti bentuk mesnavi (misalnya cerita-cerita mini dalam Masnawi karya Jalaluddin Rumi), gazel dan kaside (seperti gaya Divan Kabir-nya Rumi) pun akhirnya kembali diadopsi dalam karya-karya penulis cerpen dewasa ini.
[Penulis Buku Bahane Prof. Dr. Köksal Alver. Foto @konhaber.com]
Sebagai contoh, saya ingin menunjukkan buku kumpulan cerpen berjudul Bahane yang terbit akhir tahun 2015. Kumpulan öykü karya Prof. Dr. Koksal Alver (profesor sosiologi-cum sastrawan) ini memuat 23 cerita hanya dengan tebal hanya 94 halaman (!), dan dicetak dengan ukuran seperti buku saku. Yang menganut “standar cerpen” hanya ada 4 cerita. Yang lain rata-rata berkisar 1–2 halaman per cerita. Bahkan ada cerita yang cuma terdiri dari satu paragraf, misalnya Hikayeci (Tukang Cerita), Eskiyen (Basi), dan Yorgun Yazar (Penulis yang Lelah). Buku Alver ini menghadirkan sebuah percobaan literasi berupa permainan kata dalam membentuk irama kalimat. Cerita berjudul Avare (Kosong) tersusun dari frasa dengan akhiran seirama ken atau iken (arti: ketika). Nyaris seperti puisi lirik yang kita kenal!

Untuk membentuk irama akhir dalam sebuah kalimat, bahasa Turki mempunyai keunggulan karena mempunyai kata akhiran yang kaya. Nyaris semua kalimat dalam bahasa Turki bisa dimengerti karena faktor ini. Bernd Brunner (2015) menyebut bahasa Turki sebagai agglutinative language (eklemeli bir dil), yaitu bahasa yang banyak disusun dengan imbuhan. Bahasa Turki memainkan peran imbuhan tengah dan akhir yang memudahkan penulis membentuk irama sedemikian kaya.

Semakin dalam saya membaca sastra Turki (khususnya cerita pendek), ketegangan yang saya alami semakin memuncak. Perkembangan cerita pendek di Turki telah mengalami peluberan yang luar biasa. Bahkan tanpa batasan saklek yang mengikat kreativitas mereka. Mereka mempunyai kebebasan menulis öykü tanpa melihat pakem dan unsur-unsur dasar dalam cerita pendek itu sendiri. Ini tentu saja bisa dilihat sebagai sebuah kefatalan, tetapi bisa juga dinilai sebagai justifikasi sebuah gerakan yang harus diwadahi secara proporsional.

Akhirnya, di mata pembaca cerita pendek dengan standar yang berkembang secara global (dari Poe, Maupassant, Borges, O. Henry, Munro, hingga Budi Darma dan Seno Gumira Adjidarma), öykü yang berkembang di Turki modern tengah mengalami kegamangan (dan bahkan ambiguitas): antara mengikuti pakem Barat atau kembali menggali dan mengembangkan khazanah sastra lokal mereka dengan menganggit kembali cerita-cerita mini yang berkembang pesat di kalangan para sufi.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Basabasi.co


Bernando J. Sujibto,
Menulis cerita, esai dan kolom, juga menulis sejumlah buku. Saat ini sedang merampungkan penelitian tesisnya tentang Orhan Pamuk untuk Program Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki. Berceloteh di @_bje.

Ziarah ke Museum of Innocence

18.20.00 Add Comment

"Ini betul-betul kisah cinta yang tak wajar (atau bahkan keparat), dan memang begitulah cinta: menyelipkan kisah-kisah unik masing-masing."

[Menanjak dari Tophane ke Museum. Foto +Bernando J. Sujibto]
Suatu siang menjelang sore hari Jumat, 29 Agustus 2014, tepat 39 tahun setelah cerita cinta yang rapuh dan sintimentil ini mulai ditulis oleh Orhan Pamuk—yaitu seperempat menuju pukul 3 suatu sore hari Senin, 26 May 1975—dalam novel berjudul Museum Kepolosan, saya menjadi pengunjung ke-9.304 di sebuah museum yang mengabadikan kisah cinta antara Kemal dengan Füsun itu. Saya berziarah ke museum ini dengan merangkul novel Masumiyet Müzesi versi Turki di dada. Saya mengikuti anjuran Kemal Basmacı, tokoh protagonis, yang meminta kepada segenap pembaca agar senantiasa mendekap novel ini di dada masing-masing apabila ingin berziarah ke tengah lokus kepolosan cinta yang menjelma menjadi simbol dan artefak dalam bentuk koleksi-koleksi di sebuah museum dengan nama yang sama: Museum of Innocence.

Bagi mereka yang lebih dulu selesai membaca novelnya, berkunjung ke Museum of Innocence adalah sebentuk ziarah untuk merasai luka perih dan ketulusan kisah cinta fiktif yang pernah dialami oleh seorang tokoh cerita bernama Kemal. Kemal nyaris menyerahkan masa-masa produktif hidupnya untuk cinta, dari tahun 1975 hingga 1984, dan setelah itu pun ia harus menanggung ketololan cinta yang menyesatkan dirinya dalam keindahan dan kebahagian yang menyakitkan. Ini betul-betul kisah cinta yang tak wajar (atau bahkan keparat), dan memang begitulah cinta: menyelipkan kisah-kisah unik masing-masing. Fragmen dalam Museum of Innocence mengingatkan saya kepada kisah-kisah cinta paling fenomenal di jagat raya: Layla & Majnun­-nya Nizami Ganjavi, Lolita-nya Vladimir Nabokov dan Love in The Time of Cholera milik Gabriel García Márquez.
[Jalan Curam dari Taksim ke Museum. Foto +Bernando J. Sujibto]
Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri. Ketika Füsun masih berada di sampingnya dan menjadi “milik” Kemal, kebahagiaan adalah ketika menikmati kehalusan kulit, rambut dan lehernya yang jenjang; ketika Füsun menghilang pergi bersama keluarganya entah kemana, kebagiaan adalah ketika Kemal memandangi objek-objek yang pernah disentuh Füsun, aroma-aroma yang melekat di sana dan sebuket kenenangan yang melumurinya, juga jalan-jalan berundak di kota Istanbul yang pernah dilaluinya; ketika Füsun ditemukan kembali dari pengasingan dan tenyata sudah bersuami, kebahagiaan adalah ketika Kemal dapat mengunjunginya tiga kali seminggu (untuk makan malam dan minum teh) selama kurang lebih delapan tahun; dan ketika Füsun meninggal akibat kecelakaan, kebahagiaan bagi Kemal adalah kemampuan merasakan dan menikmati luka dan perih yang dialami Füsun.

Sebelum masuk ke dalam gedung museum, sebaiknya kita menikmati sebentuk bangunan tua dengan gaya asitekstur Prancis awal abad 19. Gedung yang berdiri tepat di ujung gang jalan Dalgıç itu menunjukkan siapa Füsun dan keluargnya, sebuah cermin kehidupan sederhana. Meskipun Kemal berasal dari keluarga kelas atas dan kaya raya di Istanbul, pilihan Pamuk membeli bangunan lantai tiga seadanya dengan kesan klasik dan tak luas itu menegaskan suatu potret kehidupan sosial-ekonomi Istanbul tahun 1970-an yang selaras dengan latar belakang dan kondisi riil seperti tergambar dalam novel. Pengunjung yang telah membaca novel akan menemukan keserasian antara cerita dan realisasi Pamuk dalam bentuk aktual.
[Museum of Innocence. Foto +Bernando J. Sujibto]
Pun bila masuk ke dalam museum kesan klasik tahun 70-an akan menyergap kuat. Objek-objek yang dibikin tua atau dokumen-dokumen yang memang hanya ada di tahun-tahun itu, seperti kover film, halaman koran dan majalah, dokumen imigrasi, foto, bungkusan rokok dan botol minuman misalnya dibingkai dalam sentuhan muram dan sayu—sebuah nuansa melankolia—demi menghadirkan narasi perih ihwal kisah cinta yang menyiksa.  

Di lantai pertama, setelah menyaksikan objek paling masif berupa puntung rokok yang berjumlah 4.213, kenangan yang paling dihayati Kemal karena setiap puntung rokok adalah ekspresi emosi yang intens (yoğun bir duygunun dışavurumudur) dari setiap momen yang melingkupi dunia Füsun. Kemal mengerti nuansa emosi gadis pujaannya dengan cara bagaimana ia menyalakan, menghisap dan sekaligus mematikan rokoknya; apakah ia meletakkan puntung rokok di asbak dengan lamat-lamat penghayatan atau tergesa-gesa melempitnya begitu saja, atau bahkan mencampakkannya ke luar jendela. Detail-detail masif dan intens begini kerapkali berkonsekwensi kepada ketaklogisan kisah cinta antara Kemal dan Füsun. Dalam diri Füsun pun demikian, meski tidak banyak dieksplor secara detail masif oleh Pamuk. Misalnya, karena sudah berjanji kepada Kemal sejak awal percintaannya bahwa Füsun tidak akan berhubungan intim dengan siapa pun, ternyata selama lebih lima tahun menikah ia tak sekali pun bersetubuh dengan sang suami. Tiba-tiba jiwa Kemal seperti melolong ketika mendengar fragmen yang sulit masuk akal ini. Ternyata, dalam diri Füsun terbenam kenangan cinta yang tak kalah hebat bergelora dan mengejutkan Kemal.
[Koleksi dalam Museum. Foto +Bernando J. Sujibto]
Habitus Melankolia

Saya dengan mudah menengarai bahwa novel ini adalah lokus dari melankolia yang mencerminkan karya-karya Pamuk tentang Istanbul ataupun yang disebut sendiri dalam esai-esai otobiografinya, misal dalam buku "Istanbul: Hatılar ve Şehir" atau "Manzaradan Parçalar" dan "Öteki Renkler" (dua buku yang memuat esai-esai dan kronik kehidupan dan pemikiran Pamuk). Pamuk seolah ingin menerjemahkan konsep melankolia seperti terjadi pada diri Kemal. Dia tidak berhenti sebagai agen personal yang menanggung kemuraman—dalam konteks novel ini melalui kisah cinta—tetapi, ternyata keluarga Kemal pun, khususnya sang ayah, mengalami fase keterputusan kultur dari marwah keluarga yang diejawantahkan dengan serangkaian perselingkuhan. Di lingkungan sekitar Kemal, teman-teman bermainnya, potret kesuraman dan kehilangan akan akar dan identitas sejarah sangat jelas dihadirkan Pamuk melalui dua wajah: Islam dan Barat, meskipun kehidupan sekuler Eropa lebih dominan dalam novel-novel Pamuk, termasuk novel ini.

Latar belakang kehidupan sosial Istanbul dalam novel ini adalah potret yang nyaris utuh ihwal habitus melakolia itu sendiri. Saya bersepakat dengan Norbert Bugeja dalam bukunya Postcolonial Memoir in the Middle East: Rethinking the Liminal in Mashriqi Writing ketika coba mendifinisikan bahwa melankolia (hüzün) is not the melancholy of a solitary person, but the black mood shared by millions of people together, will in the last instance transcend the individual per se in order to encompass the entire socius (Bugeja, 2012:126). Sementara itu, Pamuk sendiri dengan jelas mengatakan bahwa hüzün adalah state of mind yang merasuk ke dalam laku sosial (Pamuk, 2008:82) dan memungkinkan orang banyak (people of the city) menghadapi hal yang sama: kehilangan dan perubahan sebagai fenomena sejarah.
[Koleksi Karya Pamuk dari Berbagai Bahasa. Foto +Bernando J. Sujibto]
Kepiawaian Pamuk dalam membenturkan peradaban Barat dan Timur dengan intensitas yang tinggi adalah pioner bagi penulis novel sastra Turki sendiri. Penulis-penulis hebat seperti Ahmet Hamdi Tanpınar, yang digadang-gadang sebagai peletak dasar novel postmodern dalam sastra Turki, Sabahattin Ali ataupun Yaşar Kemal misalnya, tak seistimewa Pamuk ketika mendalami aspek-aspek historisitas untuk menemukan originalitas dari kehilangan demi kehilangan ihwal kultur dan tradisi Turki itu sendiri. Pamuk begitu gagah menghancurkan kerigidan sejarah dengan intervensi aspek-aspek fiksional dan karena keistimewaan aspek-aspek fiksional pada tubuh sejarah terciptalah konstruksi fiksi-dari-sejarah yang tersusun sebagai dunia baru dan mencengangkan. Ia bergumul dengan impresi-impresi kehilangan dari dinamika sejarah Turki lalu menambalnya dengan fiksi. Kehilangan yang menjadi lokus Pamuk dengan menyelam secara tekun ke dalam sejarah masa lalunya lalu dihadirkan ke dalam komposisi hibriditas untuk mendengungkan kebudayaan Turki melalui tema habitus melankolia, adalah proyek original yang dapat dijumpai dan sekaligus diperdebatkan dalam karya-karyanya.

Ada banyak anomali dalam aspek kultural dan politik yang dapat ditemui dalam novel ini dan sekaligus saya rasakan sendiri setelah satu tahun lebih tinggal di Turki. Seperti kasus-kasus birokrasi dan penyuapan, korupsi, perselingkuhan, jaringan bisnis hitam dan kasus nasabah bank. Sejatinya Pamuk bukan omong kosong menghadirkan sedemikian rigid kehidupan Istanbul dan Turki dalam karya-karyanya. Rekaman-rekaman historisitas yang begitu dalam dan menuntut totalitas dan intensitas kerja dari seorang penulis tertuang secara brilian dalam karya-karyanya. Namun sayang sekali semua karya besar yang dihasilkan Pamuk diabaikan oleh mayoritas rakyat Turki. Mereka dilampaui rasa sakit karena pernyataan kontoversial Pamuk pada sebuah wawancara di majalah yang terbit di Swiss ihwal genosida bangsa Armenia setahun sebelum dirinya didapuk hadiah Nobel Sastra pada tahun 2006.

Akhirnya, keluar dari museum dengan setangkup konklusi tentang konstelasi kebesaran sejarah dan kehilangan, kebahagiaan dan penderitaan, kesuraman dan sekaligus harapan adalah sebuah keniscayaan. Museum Kepolosan ini adalah rumah kecil yang berisi narasi melankolia dari sudut pandang seorang pecinta, di mana di waktu yang bersamaan dia bersentuhan dengan sejarah, sosial, politik dan ekonomi sebagai ruang lingkup habitus. Dari aspek ini, koleksi-koleksi dalam museum dan kisah-kisah cinta dalam novel The Museum of Innocence adalah eksemplar untuk merepresentasikan habitus melenkolia sebagai proyek dan topik utama dalam memperbincangkan karya-karya Orhan Pamuk.
Versi cetak dimuat di Jawa Pos22 Februari 2015


Bernando J. Sujibto Penulis dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi di Selcuk University, Konya Turki (2014-2016). Mengambil konsentrasi Sosiologi Sastra dan melakukan penelitian untuk karya-karya Orhan Pamuk. Menerjemahkan karya-karya sastra Turki ke dalam Bahasa Indonesia. Twitter @_bje.